Di Takengon sejak saya MIN, tahun 1986 hingga tahun 1992, tak ada tempat yang betul-betul menjadi sebuah toko buku. Hanya ada toko-toko buku kecil agen dari penerbit dari Medan, itu pun sebatas buku pelajaran sekolah. Seperti dulu toku buku Gentala di daerah Pasar Bawah Takengon. Saat dulu sistem Cara Belajar Siswa Aktif mulai bergulir, banyak buku-buku CBSA berdiam di toko ini.
Ada juga toko yang jualan buku CBSA di simpang Bale Atu, saya lupa namanya. Toko ini juga bukan murni toko buku, namun hanya nyambi jualan buku di sela penjualan utamanya sebagai toko kelontong. Sekarang toko ini berganti pemilik yang berjualan pulsa dan aksesori ponsel.
Ada juga tak jauh dari tempat di atas, ada toko buku Aneka Ilmu, kalau tak salah itu namanya. Sama dengan di atas, mereka menjual buku pelajaran tingkat sekolah dasar dan menjual majalah-majalah nasional. Tak tinggal juga tabloid-tabloid terkenal saat itu, seperti wanita Indonnesia, Nova, Bintang, dan lain-lain. Nah, kalau urusan penyalur koran dan majalah, khususnya terbitan Gramedia-Kompas, di Takengon ada penyalur yang masih tetap eksis hingga sekarang, namanya Nasirudin Agency. Kompas, Bobo, Hai, Intisari, dan lain-lain media cetak nasional ada di sini. Pun majalah Tempo juga disalurkan dari sini. Berikut terbitnya majalah lain seperti Gatra dan Forum Keadilan. Sekarang, setelah Pak Nasiruddin tiada, usaha keluarga berdarah Minang ini dikawal anaknya sendiri. Namanya juga berubah menjadi Novia Agency, diambil dari nama anaknya yang bungsu. Perubahan nama ini juga saat Pak Nasiruddin masih memegang usaha ini.
Selain itu ada juga taman bacaan di Takengon. Seingat saya taman bacaan itu ada dua tempat. Keduanya di Kampung Bale Atu. Satu di pertokoan di daerah terminal labi-labi atau sudako. Satu lagi di komplek permukiman. Saya lupa lagi dengan nama-namanya. Kalau tak salah yang berada di komplek perumahan bernama Maya Agency. Yang terkenal adalah yang pertama, yang berada di komplek terminal Bale Atu. di sini kita membaca novel, cerita silat, dan cerita berseri lainnya. Kalau tak salah, satu seri kalau baca di sana berharga 100 rupiah. Lain kalau kita bawa pulang, atau sistem rental, ada juga bayaran khusus. Sekarang taman bacaan ini menjadi toko grosir.
Selain yang di atas ada juga agen-agen majalah tanpa toko yang mendistribusikan majalah atau koran-koran tertentu. Saya masih ingat, dahulu di rumah ada Koran Suara Karya, Pelita, Kompas sesekali, Majalah Intisari, Tempo, Panji Masyarakat, Santunan, Kartini, dan lain-lain.
Sekarang hanya ada toko-toko yang nyambi menjual buku. Itu pun buku sebatas tema-tema tertentu, seperti buku-buku Islam atau buku-buku sekolah. Di tahun 2010 ini ada juga sebuah toko buku yang tutup di kawasan Wariji. Padahal toko ini lumayan punya isi yang beragam dari tema umum, sastra, dan sains. Ada juga beberapa buku sekolah dan tentu saja beberapa majalah dan tabloid nasional.
Memang saat ini selain ada perpustakaan daerah, dunia daring semakin menjadi perkembangannya. Orang-orang memang sudah bisa dengan mudah meraih buku. Malah buku atau bacaan ini bisa diunduh dengan gratis. Pengguna hanya membayar biaya internet saja. Konon lagi, Takengon sudah mulai menjadi sentra pendidikan wilayah tengah Aceh, karena di sini sudah berdiri Universitas Gajah Putih dengan beberapa fakultas. Dulu masih sekolah tinggi dan pertanian adalah jurusan pertama yang berdiri, disusul tarbiyah. Sekarang yang tarbiyah menjadi sekolah tinggi sendiri bernama Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih. Keberadaan sekolah tinggi dan universitas ini tentu sangat membutuhkan bacaan yang bermutu agar mahasiswa bisa menjadi generasi yang mau membaca dan menulis dan kreatif.
Entahlah, bagi saya buku dengan cetakan konvensional masih sangat asyik dimiliki. Membaca buku dengan santai adalah sesuatu yang berharga yang tak dapat dinilai harganya. Walau punya ponsel pintar dan tablet yang disisipi koneksi internet, bisa mengunduh beberapa bacaan, bagi saya buku konvensional masih menjadi pemenang. Memang mahal dalam hal pembelian dan perawatan, tapi seperti di atas, dengan memegang saja punya keasyikan sendiri, apalagi membacanya ditemani cemilan atau kopi. Sensasi membaca buku memang beda dengan membaca e-book via tablet atau ponsel.
Mungkin ke depan di Takengon, sebuah toko buku harus punya konsep yang beda agar bisa eksis dan digemari pelanggan. Mungkin dengan konsep menggabungkan dengan hal lain yang unik, sebuah toko buku akan menjadi tempat favorit di Takengon.
Ada juga toko yang jualan buku CBSA di simpang Bale Atu, saya lupa namanya. Toko ini juga bukan murni toko buku, namun hanya nyambi jualan buku di sela penjualan utamanya sebagai toko kelontong. Sekarang toko ini berganti pemilik yang berjualan pulsa dan aksesori ponsel.
Ada juga tak jauh dari tempat di atas, ada toko buku Aneka Ilmu, kalau tak salah itu namanya. Sama dengan di atas, mereka menjual buku pelajaran tingkat sekolah dasar dan menjual majalah-majalah nasional. Tak tinggal juga tabloid-tabloid terkenal saat itu, seperti wanita Indonnesia, Nova, Bintang, dan lain-lain. Nah, kalau urusan penyalur koran dan majalah, khususnya terbitan Gramedia-Kompas, di Takengon ada penyalur yang masih tetap eksis hingga sekarang, namanya Nasirudin Agency. Kompas, Bobo, Hai, Intisari, dan lain-lain media cetak nasional ada di sini. Pun majalah Tempo juga disalurkan dari sini. Berikut terbitnya majalah lain seperti Gatra dan Forum Keadilan. Sekarang, setelah Pak Nasiruddin tiada, usaha keluarga berdarah Minang ini dikawal anaknya sendiri. Namanya juga berubah menjadi Novia Agency, diambil dari nama anaknya yang bungsu. Perubahan nama ini juga saat Pak Nasiruddin masih memegang usaha ini.
Selain itu ada juga taman bacaan di Takengon. Seingat saya taman bacaan itu ada dua tempat. Keduanya di Kampung Bale Atu. Satu di pertokoan di daerah terminal labi-labi atau sudako. Satu lagi di komplek permukiman. Saya lupa lagi dengan nama-namanya. Kalau tak salah yang berada di komplek perumahan bernama Maya Agency. Yang terkenal adalah yang pertama, yang berada di komplek terminal Bale Atu. di sini kita membaca novel, cerita silat, dan cerita berseri lainnya. Kalau tak salah, satu seri kalau baca di sana berharga 100 rupiah. Lain kalau kita bawa pulang, atau sistem rental, ada juga bayaran khusus. Sekarang taman bacaan ini menjadi toko grosir.
Selain yang di atas ada juga agen-agen majalah tanpa toko yang mendistribusikan majalah atau koran-koran tertentu. Saya masih ingat, dahulu di rumah ada Koran Suara Karya, Pelita, Kompas sesekali, Majalah Intisari, Tempo, Panji Masyarakat, Santunan, Kartini, dan lain-lain.
Sekarang hanya ada toko-toko yang nyambi menjual buku. Itu pun buku sebatas tema-tema tertentu, seperti buku-buku Islam atau buku-buku sekolah. Di tahun 2010 ini ada juga sebuah toko buku yang tutup di kawasan Wariji. Padahal toko ini lumayan punya isi yang beragam dari tema umum, sastra, dan sains. Ada juga beberapa buku sekolah dan tentu saja beberapa majalah dan tabloid nasional.
Memang saat ini selain ada perpustakaan daerah, dunia daring semakin menjadi perkembangannya. Orang-orang memang sudah bisa dengan mudah meraih buku. Malah buku atau bacaan ini bisa diunduh dengan gratis. Pengguna hanya membayar biaya internet saja. Konon lagi, Takengon sudah mulai menjadi sentra pendidikan wilayah tengah Aceh, karena di sini sudah berdiri Universitas Gajah Putih dengan beberapa fakultas. Dulu masih sekolah tinggi dan pertanian adalah jurusan pertama yang berdiri, disusul tarbiyah. Sekarang yang tarbiyah menjadi sekolah tinggi sendiri bernama Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih. Keberadaan sekolah tinggi dan universitas ini tentu sangat membutuhkan bacaan yang bermutu agar mahasiswa bisa menjadi generasi yang mau membaca dan menulis dan kreatif.
Entahlah, bagi saya buku dengan cetakan konvensional masih sangat asyik dimiliki. Membaca buku dengan santai adalah sesuatu yang berharga yang tak dapat dinilai harganya. Walau punya ponsel pintar dan tablet yang disisipi koneksi internet, bisa mengunduh beberapa bacaan, bagi saya buku konvensional masih menjadi pemenang. Memang mahal dalam hal pembelian dan perawatan, tapi seperti di atas, dengan memegang saja punya keasyikan sendiri, apalagi membacanya ditemani cemilan atau kopi. Sensasi membaca buku memang beda dengan membaca e-book via tablet atau ponsel.
Mungkin ke depan di Takengon, sebuah toko buku harus punya konsep yang beda agar bisa eksis dan digemari pelanggan. Mungkin dengan konsep menggabungkan dengan hal lain yang unik, sebuah toko buku akan menjadi tempat favorit di Takengon.
No comments:
Post a Comment