Wednesday, May 4, 2011

Becak

Bukan becak yang bermakna noda atau bintik-bintik, tapi becak yang tugasnya sebagai alat pemindahan barang atau manusia dari satu tempat ke tujuan yang direncanakan. Atau, becak yang sering dikendarai oleh mereka yang sering dijuluki sebagai Abang Becak. Atau, kerap juga sang pengendara atau yang membawa becak disebut penarik becak.

Becak sebagai sebuah moda transportasi sudah sangat dikenal di Indonesia. Khususnya di beberapa tempat, becak menjadi moda transportasi yang khas dan menjadi favorit. Sejarah becak di Indonesia juga sudah dijelaskan di beberapa tulisan seperti blog dan wikipedia.  Jadi ada daerah yang masih mempertahankan becak dan ada juga yang sudah menghentikan pengoperasian becak, seperti Jakarta.

Di Takengon, becak tidak seperti di Medan atau di Banda Aceh yang sudah punya liku sejarah. Saat saya masih duduk si bangku seolah dasar, saya MIN, becak yang ada di Takengon adalah becak yang khusus diperuntukkan untuk barang. Becak ini termasuk jenis becak dayung dan termasuk juga model becak yang ada di Sumatera. Becak yang pengemudinya berada di samping.

Becak barang ini mempunyai roda tiga buah. Dua roda pertama merupakan roda senyawa dari sepeda yang menjadi pengayuh becak. Sedangkan roda ketiga berada di bagian kiri yang membawahi bagian pembawa barang. Jadi becak dayung ini adalah sepeda besar sejenis ontel yang dimodifikasi sedemikian rupa dan dibubuhi papan sebagai gerobak di sebelah kirinya. Lebar becak ini selebar mobil, hingga bisa memenuhi jalan kalau sedang beroperasi. Yang menarik, setang sepeda terkadang diubah dengan model setir mobil, seakan-akan pengendara becak menjadi pengendara mobil.

Saat itu orang Takengon kalau mau naik becak khusus penumpang harus ke luar Takengon, seperti Banda Aceh dan Medan. Medan memang menjadi pusat perkembangan becak di wilayah Sumatera. Di Medan kita bisa dapatkan dua jenis becak, yaitu jenis becak motor dan becak dayung. Perlahan, seiring dengan bergulirnya waktu, becak dayung ini hilang dan digantikan oleh becak motor. Sedangkan di Banda Aceh sendiri, yang ada hanya becak motor. Sebuah kendaraan yang unik, kalau ingin jalan harus mengayuh mesinnya terlebih dahulu. Jadi ada dua pedal seperti sepeda yang berguna untuk kayuhan agar mesin dapat hidup dan jalan. Katanya juga, becak mesin ini punya bahan bakar campuran khusus dan tentu saja punya bengkel khusus.

Di Takengon, becak barang jenis dayung juga semakin lama semakin menghilang. Pertama, becak ini menjadi becak mesin. Sepeda diganti oleh sepeda motor tua dan disambung dengan gerobak yang telah ada. Lalu, becak ini juga menghilang dari pasaran, setelah becak penumpang mulai tumbuh di Takengon, kisaran tahun 2005-an. Saat damai politik diraih oleh negeri ini.

Hingga sekarang becak motor sudah menjadi pilihan masyarakat di sini. Kelebihannya, dibandingkan labi-labi atau sudako, becak bisa mengantar penumpang langsung ke pagar tujuan kita. Ongkosnya, tinggal ditawar, karena belum ada aturan tarif khusus . Hebatnya, sepeda motor yang membawa becak ini bukan lagi motor tua, tapi sepeda motor yang masih relatif baru, baik dari jenis bebek maupun yang besar sedikit. Tak heran kalau berkunjung di Takengon, ada sepeda motor jenis Tiger atau Vixion, menjadi becak motor. Kalau melirik ke belakang atau depan motor, nomor polisi kendaraan tersebut masih percobaan alias masih baru.

Saat ini, pengendara becak tinggal beli motor dengan kredit di tempat penjualan motor. Apalagi saat ini membeli sepeda motor kredit sangatlah mudah. Kadang dengan uang Sejuta rupiah, malah kurang, sepeda motor langsung bisa dibawa pulang. Angsurannya dibayar dengan untung menarik becak.

Makanya, saat ini becak motor menjadi model transportasi yang memenuhi jalan-jalan di Takengon. Satu sisi kita melihat ini wujud kreatifitas masyarakat untuk meningkatkan ekonomi. Namun di satu sisi, bila tidak diatur oleh pemerintah kabupaten dengan segera, Takengon bisa menjadi Kota Becak. Macet bisa di sana-sini. Apalagi tarif untuk penumpang juga belum ada aturannya. Belum lagi bila kita melihat dari sisi ekologi yang hanya membuat Takengon bisa berubah menjadi "panas". Kadang kita melihat, pengendara becak juga kurang acuh dengan etika berlalu lintas. Saya khawatir bila tak diatur dengan segera, Takengon bisa menjadi Bogor, yang hijau dengan angkot, :).

Kebijkan tak populer itu perlu memang. Asalkan direncanakan dengan matang, tentu dengan cara pendekatan yang baik kepada mereka yang menjadi stakeholder  becak di Takengon. Baik pengusaha, pengendara, maupun penumpang sendiri.






















No comments:

Post a Comment