Ari Bale Atu, Bukit, Bener Meriah
Hana si ara i wan ulu, jadi kekire. Kekire si ara ni, i tuangan wan ni weblog ni. Bewene tentang negeri antara
Sunday, June 12, 2011
Sunday, May 29, 2011
Thursday, May 26, 2011
Sunday, May 22, 2011
Wednesday, May 18, 2011
Wednesday, May 11, 2011
Monday, May 9, 2011
Sunday, May 8, 2011
Trip To Calang
Serloni ku Calang, via Angkup-Celala-Betong-Jeuram-Meulaboh.
Ari Beutong Ateuh ku Kr.Isep, uren. Walaupe uren, manuk dele beterbangen. Rupe ni manuk pe mubage.
Friday, May 6, 2011
Toko Buku
Di Takengon sejak saya MIN, tahun 1986 hingga tahun 1992, tak ada tempat yang betul-betul menjadi sebuah toko buku. Hanya ada toko-toko buku kecil agen dari penerbit dari Medan, itu pun sebatas buku pelajaran sekolah. Seperti dulu toku buku Gentala di daerah Pasar Bawah Takengon. Saat dulu sistem Cara Belajar Siswa Aktif mulai bergulir, banyak buku-buku CBSA berdiam di toko ini.
Ada juga toko yang jualan buku CBSA di simpang Bale Atu, saya lupa namanya. Toko ini juga bukan murni toko buku, namun hanya nyambi jualan buku di sela penjualan utamanya sebagai toko kelontong. Sekarang toko ini berganti pemilik yang berjualan pulsa dan aksesori ponsel.
Ada juga tak jauh dari tempat di atas, ada toko buku Aneka Ilmu, kalau tak salah itu namanya. Sama dengan di atas, mereka menjual buku pelajaran tingkat sekolah dasar dan menjual majalah-majalah nasional. Tak tinggal juga tabloid-tabloid terkenal saat itu, seperti wanita Indonnesia, Nova, Bintang, dan lain-lain. Nah, kalau urusan penyalur koran dan majalah, khususnya terbitan Gramedia-Kompas, di Takengon ada penyalur yang masih tetap eksis hingga sekarang, namanya Nasirudin Agency. Kompas, Bobo, Hai, Intisari, dan lain-lain media cetak nasional ada di sini. Pun majalah Tempo juga disalurkan dari sini. Berikut terbitnya majalah lain seperti Gatra dan Forum Keadilan. Sekarang, setelah Pak Nasiruddin tiada, usaha keluarga berdarah Minang ini dikawal anaknya sendiri. Namanya juga berubah menjadi Novia Agency, diambil dari nama anaknya yang bungsu. Perubahan nama ini juga saat Pak Nasiruddin masih memegang usaha ini.
Selain itu ada juga taman bacaan di Takengon. Seingat saya taman bacaan itu ada dua tempat. Keduanya di Kampung Bale Atu. Satu di pertokoan di daerah terminal labi-labi atau sudako. Satu lagi di komplek permukiman. Saya lupa lagi dengan nama-namanya. Kalau tak salah yang berada di komplek perumahan bernama Maya Agency. Yang terkenal adalah yang pertama, yang berada di komplek terminal Bale Atu. di sini kita membaca novel, cerita silat, dan cerita berseri lainnya. Kalau tak salah, satu seri kalau baca di sana berharga 100 rupiah. Lain kalau kita bawa pulang, atau sistem rental, ada juga bayaran khusus. Sekarang taman bacaan ini menjadi toko grosir.
Selain yang di atas ada juga agen-agen majalah tanpa toko yang mendistribusikan majalah atau koran-koran tertentu. Saya masih ingat, dahulu di rumah ada Koran Suara Karya, Pelita, Kompas sesekali, Majalah Intisari, Tempo, Panji Masyarakat, Santunan, Kartini, dan lain-lain.
Sekarang hanya ada toko-toko yang nyambi menjual buku. Itu pun buku sebatas tema-tema tertentu, seperti buku-buku Islam atau buku-buku sekolah. Di tahun 2010 ini ada juga sebuah toko buku yang tutup di kawasan Wariji. Padahal toko ini lumayan punya isi yang beragam dari tema umum, sastra, dan sains. Ada juga beberapa buku sekolah dan tentu saja beberapa majalah dan tabloid nasional.
Memang saat ini selain ada perpustakaan daerah, dunia daring semakin menjadi perkembangannya. Orang-orang memang sudah bisa dengan mudah meraih buku. Malah buku atau bacaan ini bisa diunduh dengan gratis. Pengguna hanya membayar biaya internet saja. Konon lagi, Takengon sudah mulai menjadi sentra pendidikan wilayah tengah Aceh, karena di sini sudah berdiri Universitas Gajah Putih dengan beberapa fakultas. Dulu masih sekolah tinggi dan pertanian adalah jurusan pertama yang berdiri, disusul tarbiyah. Sekarang yang tarbiyah menjadi sekolah tinggi sendiri bernama Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih. Keberadaan sekolah tinggi dan universitas ini tentu sangat membutuhkan bacaan yang bermutu agar mahasiswa bisa menjadi generasi yang mau membaca dan menulis dan kreatif.
Entahlah, bagi saya buku dengan cetakan konvensional masih sangat asyik dimiliki. Membaca buku dengan santai adalah sesuatu yang berharga yang tak dapat dinilai harganya. Walau punya ponsel pintar dan tablet yang disisipi koneksi internet, bisa mengunduh beberapa bacaan, bagi saya buku konvensional masih menjadi pemenang. Memang mahal dalam hal pembelian dan perawatan, tapi seperti di atas, dengan memegang saja punya keasyikan sendiri, apalagi membacanya ditemani cemilan atau kopi. Sensasi membaca buku memang beda dengan membaca e-book via tablet atau ponsel.
Mungkin ke depan di Takengon, sebuah toko buku harus punya konsep yang beda agar bisa eksis dan digemari pelanggan. Mungkin dengan konsep menggabungkan dengan hal lain yang unik, sebuah toko buku akan menjadi tempat favorit di Takengon.
Ada juga toko yang jualan buku CBSA di simpang Bale Atu, saya lupa namanya. Toko ini juga bukan murni toko buku, namun hanya nyambi jualan buku di sela penjualan utamanya sebagai toko kelontong. Sekarang toko ini berganti pemilik yang berjualan pulsa dan aksesori ponsel.
Ada juga tak jauh dari tempat di atas, ada toko buku Aneka Ilmu, kalau tak salah itu namanya. Sama dengan di atas, mereka menjual buku pelajaran tingkat sekolah dasar dan menjual majalah-majalah nasional. Tak tinggal juga tabloid-tabloid terkenal saat itu, seperti wanita Indonnesia, Nova, Bintang, dan lain-lain. Nah, kalau urusan penyalur koran dan majalah, khususnya terbitan Gramedia-Kompas, di Takengon ada penyalur yang masih tetap eksis hingga sekarang, namanya Nasirudin Agency. Kompas, Bobo, Hai, Intisari, dan lain-lain media cetak nasional ada di sini. Pun majalah Tempo juga disalurkan dari sini. Berikut terbitnya majalah lain seperti Gatra dan Forum Keadilan. Sekarang, setelah Pak Nasiruddin tiada, usaha keluarga berdarah Minang ini dikawal anaknya sendiri. Namanya juga berubah menjadi Novia Agency, diambil dari nama anaknya yang bungsu. Perubahan nama ini juga saat Pak Nasiruddin masih memegang usaha ini.
Selain itu ada juga taman bacaan di Takengon. Seingat saya taman bacaan itu ada dua tempat. Keduanya di Kampung Bale Atu. Satu di pertokoan di daerah terminal labi-labi atau sudako. Satu lagi di komplek permukiman. Saya lupa lagi dengan nama-namanya. Kalau tak salah yang berada di komplek perumahan bernama Maya Agency. Yang terkenal adalah yang pertama, yang berada di komplek terminal Bale Atu. di sini kita membaca novel, cerita silat, dan cerita berseri lainnya. Kalau tak salah, satu seri kalau baca di sana berharga 100 rupiah. Lain kalau kita bawa pulang, atau sistem rental, ada juga bayaran khusus. Sekarang taman bacaan ini menjadi toko grosir.
Selain yang di atas ada juga agen-agen majalah tanpa toko yang mendistribusikan majalah atau koran-koran tertentu. Saya masih ingat, dahulu di rumah ada Koran Suara Karya, Pelita, Kompas sesekali, Majalah Intisari, Tempo, Panji Masyarakat, Santunan, Kartini, dan lain-lain.
Sekarang hanya ada toko-toko yang nyambi menjual buku. Itu pun buku sebatas tema-tema tertentu, seperti buku-buku Islam atau buku-buku sekolah. Di tahun 2010 ini ada juga sebuah toko buku yang tutup di kawasan Wariji. Padahal toko ini lumayan punya isi yang beragam dari tema umum, sastra, dan sains. Ada juga beberapa buku sekolah dan tentu saja beberapa majalah dan tabloid nasional.
Memang saat ini selain ada perpustakaan daerah, dunia daring semakin menjadi perkembangannya. Orang-orang memang sudah bisa dengan mudah meraih buku. Malah buku atau bacaan ini bisa diunduh dengan gratis. Pengguna hanya membayar biaya internet saja. Konon lagi, Takengon sudah mulai menjadi sentra pendidikan wilayah tengah Aceh, karena di sini sudah berdiri Universitas Gajah Putih dengan beberapa fakultas. Dulu masih sekolah tinggi dan pertanian adalah jurusan pertama yang berdiri, disusul tarbiyah. Sekarang yang tarbiyah menjadi sekolah tinggi sendiri bernama Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih. Keberadaan sekolah tinggi dan universitas ini tentu sangat membutuhkan bacaan yang bermutu agar mahasiswa bisa menjadi generasi yang mau membaca dan menulis dan kreatif.
Entahlah, bagi saya buku dengan cetakan konvensional masih sangat asyik dimiliki. Membaca buku dengan santai adalah sesuatu yang berharga yang tak dapat dinilai harganya. Walau punya ponsel pintar dan tablet yang disisipi koneksi internet, bisa mengunduh beberapa bacaan, bagi saya buku konvensional masih menjadi pemenang. Memang mahal dalam hal pembelian dan perawatan, tapi seperti di atas, dengan memegang saja punya keasyikan sendiri, apalagi membacanya ditemani cemilan atau kopi. Sensasi membaca buku memang beda dengan membaca e-book via tablet atau ponsel.
Mungkin ke depan di Takengon, sebuah toko buku harus punya konsep yang beda agar bisa eksis dan digemari pelanggan. Mungkin dengan konsep menggabungkan dengan hal lain yang unik, sebuah toko buku akan menjadi tempat favorit di Takengon.
Thursday, May 5, 2011
Terminal Takengon
Terminal Takengon di suatu malam saat bulan sedang terang. Terminal ini tak lagi seaktif dulu lagi. Karena sudah ada rencana pemerintah untuk merelokasi terminal in ke lokasi lain. Saat ini kalau malam, terminal ini dipenuhi kedai-kedai makanan yang cocok untuk makan malam. Menunya hanya menu biasa, khas rek, tanpa ada makanan khas Gayo.
Nasi Goreng, nasi lemak, nasi putih, dan menu umum lainnya bisa didapat di sini. Diselingi bandrek dan jamu serta minuman lainnya. Dan mereka yang berjualan adalah saudara kita dari pesisir.
Wednesday, May 4, 2011
Becak
Bukan becak yang bermakna noda atau bintik-bintik, tapi becak yang tugasnya sebagai alat pemindahan barang atau manusia dari satu tempat ke tujuan yang direncanakan. Atau, becak yang sering dikendarai oleh mereka yang sering dijuluki sebagai Abang Becak. Atau, kerap juga sang pengendara atau yang membawa becak disebut penarik becak.
Becak sebagai sebuah moda transportasi sudah sangat dikenal di Indonesia. Khususnya di beberapa tempat, becak menjadi moda transportasi yang khas dan menjadi favorit. Sejarah becak di Indonesia juga sudah dijelaskan di beberapa tulisan seperti blog dan wikipedia. Jadi ada daerah yang masih mempertahankan becak dan ada juga yang sudah menghentikan pengoperasian becak, seperti Jakarta.
Di Takengon, becak tidak seperti di Medan atau di Banda Aceh yang sudah punya liku sejarah. Saat saya masih duduk si bangku seolah dasar, saya MIN, becak yang ada di Takengon adalah becak yang khusus diperuntukkan untuk barang. Becak ini termasuk jenis becak dayung dan termasuk juga model becak yang ada di Sumatera. Becak yang pengemudinya berada di samping.
Becak barang ini mempunyai roda tiga buah. Dua roda pertama merupakan roda senyawa dari sepeda yang menjadi pengayuh becak. Sedangkan roda ketiga berada di bagian kiri yang membawahi bagian pembawa barang. Jadi becak dayung ini adalah sepeda besar sejenis ontel yang dimodifikasi sedemikian rupa dan dibubuhi papan sebagai gerobak di sebelah kirinya. Lebar becak ini selebar mobil, hingga bisa memenuhi jalan kalau sedang beroperasi. Yang menarik, setang sepeda terkadang diubah dengan model setir mobil, seakan-akan pengendara becak menjadi pengendara mobil.
Saat itu orang Takengon kalau mau naik becak khusus penumpang harus ke luar Takengon, seperti Banda Aceh dan Medan. Medan memang menjadi pusat perkembangan becak di wilayah Sumatera. Di Medan kita bisa dapatkan dua jenis becak, yaitu jenis becak motor dan becak dayung. Perlahan, seiring dengan bergulirnya waktu, becak dayung ini hilang dan digantikan oleh becak motor. Sedangkan di Banda Aceh sendiri, yang ada hanya becak motor. Sebuah kendaraan yang unik, kalau ingin jalan harus mengayuh mesinnya terlebih dahulu. Jadi ada dua pedal seperti sepeda yang berguna untuk kayuhan agar mesin dapat hidup dan jalan. Katanya juga, becak mesin ini punya bahan bakar campuran khusus dan tentu saja punya bengkel khusus.
Di Takengon, becak barang jenis dayung juga semakin lama semakin menghilang. Pertama, becak ini menjadi becak mesin. Sepeda diganti oleh sepeda motor tua dan disambung dengan gerobak yang telah ada. Lalu, becak ini juga menghilang dari pasaran, setelah becak penumpang mulai tumbuh di Takengon, kisaran tahun 2005-an. Saat damai politik diraih oleh negeri ini.
Hingga sekarang becak motor sudah menjadi pilihan masyarakat di sini. Kelebihannya, dibandingkan labi-labi atau sudako, becak bisa mengantar penumpang langsung ke pagar tujuan kita. Ongkosnya, tinggal ditawar, karena belum ada aturan tarif khusus . Hebatnya, sepeda motor yang membawa becak ini bukan lagi motor tua, tapi sepeda motor yang masih relatif baru, baik dari jenis bebek maupun yang besar sedikit. Tak heran kalau berkunjung di Takengon, ada sepeda motor jenis Tiger atau Vixion, menjadi becak motor. Kalau melirik ke belakang atau depan motor, nomor polisi kendaraan tersebut masih percobaan alias masih baru.
Saat ini, pengendara becak tinggal beli motor dengan kredit di tempat penjualan motor. Apalagi saat ini membeli sepeda motor kredit sangatlah mudah. Kadang dengan uang Sejuta rupiah, malah kurang, sepeda motor langsung bisa dibawa pulang. Angsurannya dibayar dengan untung menarik becak.
Makanya, saat ini becak motor menjadi model transportasi yang memenuhi jalan-jalan di Takengon. Satu sisi kita melihat ini wujud kreatifitas masyarakat untuk meningkatkan ekonomi. Namun di satu sisi, bila tidak diatur oleh pemerintah kabupaten dengan segera, Takengon bisa menjadi Kota Becak. Macet bisa di sana-sini. Apalagi tarif untuk penumpang juga belum ada aturannya. Belum lagi bila kita melihat dari sisi ekologi yang hanya membuat Takengon bisa berubah menjadi "panas". Kadang kita melihat, pengendara becak juga kurang acuh dengan etika berlalu lintas. Saya khawatir bila tak diatur dengan segera, Takengon bisa menjadi Bogor, yang hijau dengan angkot, :).
Kebijkan tak populer itu perlu memang. Asalkan direncanakan dengan matang, tentu dengan cara pendekatan yang baik kepada mereka yang menjadi stakeholder becak di Takengon. Baik pengusaha, pengendara, maupun penumpang sendiri.
Becak sebagai sebuah moda transportasi sudah sangat dikenal di Indonesia. Khususnya di beberapa tempat, becak menjadi moda transportasi yang khas dan menjadi favorit. Sejarah becak di Indonesia juga sudah dijelaskan di beberapa tulisan seperti blog dan wikipedia. Jadi ada daerah yang masih mempertahankan becak dan ada juga yang sudah menghentikan pengoperasian becak, seperti Jakarta.
Di Takengon, becak tidak seperti di Medan atau di Banda Aceh yang sudah punya liku sejarah. Saat saya masih duduk si bangku seolah dasar, saya MIN, becak yang ada di Takengon adalah becak yang khusus diperuntukkan untuk barang. Becak ini termasuk jenis becak dayung dan termasuk juga model becak yang ada di Sumatera. Becak yang pengemudinya berada di samping.
Becak barang ini mempunyai roda tiga buah. Dua roda pertama merupakan roda senyawa dari sepeda yang menjadi pengayuh becak. Sedangkan roda ketiga berada di bagian kiri yang membawahi bagian pembawa barang. Jadi becak dayung ini adalah sepeda besar sejenis ontel yang dimodifikasi sedemikian rupa dan dibubuhi papan sebagai gerobak di sebelah kirinya. Lebar becak ini selebar mobil, hingga bisa memenuhi jalan kalau sedang beroperasi. Yang menarik, setang sepeda terkadang diubah dengan model setir mobil, seakan-akan pengendara becak menjadi pengendara mobil.
Saat itu orang Takengon kalau mau naik becak khusus penumpang harus ke luar Takengon, seperti Banda Aceh dan Medan. Medan memang menjadi pusat perkembangan becak di wilayah Sumatera. Di Medan kita bisa dapatkan dua jenis becak, yaitu jenis becak motor dan becak dayung. Perlahan, seiring dengan bergulirnya waktu, becak dayung ini hilang dan digantikan oleh becak motor. Sedangkan di Banda Aceh sendiri, yang ada hanya becak motor. Sebuah kendaraan yang unik, kalau ingin jalan harus mengayuh mesinnya terlebih dahulu. Jadi ada dua pedal seperti sepeda yang berguna untuk kayuhan agar mesin dapat hidup dan jalan. Katanya juga, becak mesin ini punya bahan bakar campuran khusus dan tentu saja punya bengkel khusus.
Di Takengon, becak barang jenis dayung juga semakin lama semakin menghilang. Pertama, becak ini menjadi becak mesin. Sepeda diganti oleh sepeda motor tua dan disambung dengan gerobak yang telah ada. Lalu, becak ini juga menghilang dari pasaran, setelah becak penumpang mulai tumbuh di Takengon, kisaran tahun 2005-an. Saat damai politik diraih oleh negeri ini.
Hingga sekarang becak motor sudah menjadi pilihan masyarakat di sini. Kelebihannya, dibandingkan labi-labi atau sudako, becak bisa mengantar penumpang langsung ke pagar tujuan kita. Ongkosnya, tinggal ditawar, karena belum ada aturan tarif khusus . Hebatnya, sepeda motor yang membawa becak ini bukan lagi motor tua, tapi sepeda motor yang masih relatif baru, baik dari jenis bebek maupun yang besar sedikit. Tak heran kalau berkunjung di Takengon, ada sepeda motor jenis Tiger atau Vixion, menjadi becak motor. Kalau melirik ke belakang atau depan motor, nomor polisi kendaraan tersebut masih percobaan alias masih baru.
Saat ini, pengendara becak tinggal beli motor dengan kredit di tempat penjualan motor. Apalagi saat ini membeli sepeda motor kredit sangatlah mudah. Kadang dengan uang Sejuta rupiah, malah kurang, sepeda motor langsung bisa dibawa pulang. Angsurannya dibayar dengan untung menarik becak.
Makanya, saat ini becak motor menjadi model transportasi yang memenuhi jalan-jalan di Takengon. Satu sisi kita melihat ini wujud kreatifitas masyarakat untuk meningkatkan ekonomi. Namun di satu sisi, bila tidak diatur oleh pemerintah kabupaten dengan segera, Takengon bisa menjadi Kota Becak. Macet bisa di sana-sini. Apalagi tarif untuk penumpang juga belum ada aturannya. Belum lagi bila kita melihat dari sisi ekologi yang hanya membuat Takengon bisa berubah menjadi "panas". Kadang kita melihat, pengendara becak juga kurang acuh dengan etika berlalu lintas. Saya khawatir bila tak diatur dengan segera, Takengon bisa menjadi Bogor, yang hijau dengan angkot, :).
Kebijkan tak populer itu perlu memang. Asalkan direncanakan dengan matang, tentu dengan cara pendekatan yang baik kepada mereka yang menjadi stakeholder becak di Takengon. Baik pengusaha, pengendara, maupun penumpang sendiri.
Tuesday, May 3, 2011
Jalan-Jalan
Di Takengon itu paling asyik buat jalan-jalan. Selain karena cuaca yang dingin juga punya tempat-tempat yang enak dan asyik untuk singgah. Tapi, kadang cuaca dingin ini jadi masalah buat pendatang. Bisa buat wajah agak hitam dan kulit bisa kering. Mungkin ini akibat kelembaban ya.
Dulu, saat masih tingkat TK dan SD, kebetulan saya di MIN. Kalau masih tinggal di kota, pasti asyik ke Danau, jalan kaki. Selain cuaca yang dukung, situasi juga dukung. Maksudnya, di rumah, belum tentu ada satu kendaraan, apalagi satu anggota keluarga ada kendaraan macam sekarang. Jadi pergi bisa ramai-ramai, asyik lah pokoknya.
Dulu, saat ke masjid raya, mau shalat Jumat, semua penduduk kota jalan ke masjid. Jarang yang naik kendaraan yang pakai mesin. Tak ada keluh kesah, semua riang gembira walau jalan kaki.
Dulu, kalau pun ingin ke tempat yang agak jauh, naik sudako atau labi-labi. Kalau pun naik motor (mobil), pasti perginya sama-sama. Biasanya kalau mau pergi ke pesta atau acara lain (kenduri).
Tapi sekarang, kalau mau jalan-jalan tak bisa lepas dari kendaraan. Kalau tak ada kendaraan, malas jalan-jalan. Ke masjid yang hanya 100 meter saja, harus naik "kereta" atau "honda" (sebuatan buat sepeda motor). Kalau jalan khawatir berkeringat, konon lagi ke masjid raya, wuih pasti tak ada yang ingin. Sekarang kalau mau jalan jauh sudah jarang naik sudako atau labi-labi. Sudah sering naik kendaraan pribadi, malah satu Innova hanya berisi dua orang. Bayangkan, untuk acara itu, butuh puluhan mobil dan puluhan orang. Bisa penuh jalan. Kalau pun ingin naik moda umum, pasti becak jadi pilihan. Masalahnya becak juga masih punya pribadi. Artinya tak ada dasar hukum dari pemerintah kabupaten, bagaimana mengatur becak di jalan raya dan bagaimana tarif dan retribusinya ke kabupaten. Yang pasti, maaf, buat penuh jalan saja. Saya sendiri setuju sih ada becak, tapi lebih setuju lagi kalau diatur dengan baik dan terarah.
Malah heran sekarang, orang pada marah kalau jalan banyak lubangnya. Marah kalau jalan macet. Penginnya semua buru-buru. Padahal, jarak ujung ke ujung kota ini hanya kurang lebih 5 kilometer. Orang tak sadar, termasuk saya juga, yang buat jalan banyak lubang ya kita sendiri karena terus beri beban ke jalan. Macet, juga karena jiwa kita tak lagi sehat untuk patuhi lalu lintas. Semua hanya pikir untuk diri sendiri, yang lain tak penting. Kalau rasa tak nyaman dengan kendaraan atau orang lain, mudah saja, tinggal pencet KLAKSON!
Ya, jalan-jalan saat ini sudah ada nilainya di ujung KLAKSON orang lain. :)
Monday, May 2, 2011
hardiknas
Di Takengon, apakah ada peringatan hardiknas? Ntah, pastinya.
Yang pasti di sini juga sudah ada sekolah taraf internasional.
Sedikit siswa ada yang beprestasi di seni, sains, olahraga, dan juga ada yang mau peduli budaya dan lingkungan.
Tapi, di sini, siswa-siswi banyak yang gak mau jalan kaki lagi ke sekolah. Motor atau "kereta" satu orang satu. SIM entah ada, entak tidak. Kalau jalan maunya di depan melulu. Pantang ada di belakang orang lain, apalagi di belakang orang tua, HARAM.
Knalpot, pantang yang standar. Maunya, bunyi knalpot cempreng, apalagi kalau lewat, ada yang tutup telinga, pasti senang minta ampun.
Pastiya di jaman online ini, semua sudah mudah akses cari bahan bacaan. Bisa di warnet atau di mana pun yang ada "titik-panas". Tapi entah lah, apakah bacaan itu bermanfaat atau nggak.
Memang, di sini, toko buku sudah pada tutup. Nggak ada yang tahan, entah juga kenapa.
Membaca pasti menjadi sangat sulit apalagi mau MENULIS.
Selamat hardiknas, moga pendidikan kita menjadi baik dan bisa membuat generasi penerus dapat ngemban amanah agar disegani negeri lain. Segan karena produktif tentunya, bukan konsumtif. Negeri berlimpah dengan sumberdaya apa pun. Apa mau lihat langsung kalau semuanya bakal keriiiiinngggg? Oh...NO!
Yang pasti di sini juga sudah ada sekolah taraf internasional.
Sedikit siswa ada yang beprestasi di seni, sains, olahraga, dan juga ada yang mau peduli budaya dan lingkungan.
Tapi, di sini, siswa-siswi banyak yang gak mau jalan kaki lagi ke sekolah. Motor atau "kereta" satu orang satu. SIM entah ada, entak tidak. Kalau jalan maunya di depan melulu. Pantang ada di belakang orang lain, apalagi di belakang orang tua, HARAM.
Knalpot, pantang yang standar. Maunya, bunyi knalpot cempreng, apalagi kalau lewat, ada yang tutup telinga, pasti senang minta ampun.
Pastiya di jaman online ini, semua sudah mudah akses cari bahan bacaan. Bisa di warnet atau di mana pun yang ada "titik-panas". Tapi entah lah, apakah bacaan itu bermanfaat atau nggak.
Memang, di sini, toko buku sudah pada tutup. Nggak ada yang tahan, entah juga kenapa.
Membaca pasti menjadi sangat sulit apalagi mau MENULIS.
Selamat hardiknas, moga pendidikan kita menjadi baik dan bisa membuat generasi penerus dapat ngemban amanah agar disegani negeri lain. Segan karena produktif tentunya, bukan konsumtif. Negeri berlimpah dengan sumberdaya apa pun. Apa mau lihat langsung kalau semuanya bakal keriiiiinngggg? Oh...NO!
Sunday, May 1, 2011
hari buruh dan kontraktor
Adakah yang memperingati hari buruh di Takengon? Sepertinya tidak ya.
Karena di sini yang banyak itu kontraktor. Bicaranya paket; borongan; proyek; dan lain-lain, :)
Guru, jadi kontraktor.
Petani, jadi kontraktor.
Pedagang, jadi kontraktor.
Semuanya, jadi kontaraktor
Karena di sini yang banyak itu kontraktor. Bicaranya paket; borongan; proyek; dan lain-lain, :)
Guru, jadi kontraktor.
Petani, jadi kontraktor.
Pedagang, jadi kontraktor.
Semuanya, jadi kontaraktor
Subscribe to:
Posts (Atom)